“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang dhalim. (QS. 5:51) Maka kamu akan melihat
orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik)
bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami
takut akan mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan
kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya. Maka
karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan
dalam diri mereka. (QS. 5:52) Dan orang-orang yang beriman akan
mengatakan: ‘Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan
nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?’ Rusak binasalah
segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS.
5:53)” (al-Maa-idah: 51-53)
Allah Tabaraka wa Ta ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman
mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka,
karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan musuh para pemeluknya,
semoga Allah membinasakan mereka. Selanjutnya’Allah Ta’ala
memberitahu-kan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian
lainnya. Dan setelah itu Allah mengancam, dan menjanjikan siksaan bagi
orang yang mengerjakan hal tersebut.
Allah berfirman: wa may yatawallaHum minkum fa innaHuu minHum
(“Barang-siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”) Ibnu Abi Hatim
mengatakan dari ‘Iyadh, “Bahwa ‘Umar pernah menyuruh Abu Musa al-Asy’ari
untuk melaporkan kepadanya pemasukan dan pengeluaran (yang dicatat)
pada selembar kulit yang telah disamak.
Pada waktu itu, Abu Musa al-Asy’ari mempunyai seorang sekretaris
beragama Nasrani. Kemudian sekretarisnya itu menghadap `Umar untuk
memberikan laporan, maka `Umar sangat kagum seraya berujar, `Ia
benar-benar orang yang sangat teliti. Apakah engkau bisa membacakan
untuk kami di masjid, satu surat yang baru kami terima dari Syam.’ Maka
Abu Musaal-Asy’ari mengatakan, bahwa ia tidak bisa. Maka `Umar bertanya:
`Apakah ia junub?’ Ia menjawab: `Tidak, tetapi ia seorang Nasrani.’
Maka `Umar pun menghardikku dan memukul pahaku, lalu berkata:
`Keluarkanlah orang itu.’ Selanjutnya ‘Umar membaca: yaa ayyuHal
ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa’ (“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin pemimpin[mu]/sahabat karib.”)
Firman Allah: fa taral ladziina fii quluubiHim maradlun (“Maka kamu
akan melihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya.”) Yaitu
berupa keraguan dan kemunafikan. Mereka dengan cepat mengangkat
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (kerabat), dan mencintai
mereka, baik secara lahir maupun batin.
Yaquuluuna nakhsyaa an tushiibanaa daa-iratun (“Seraya berkata: ‘Kami
takut akan mendapat bencana.’”) Mereka melakukan hal itu, yaitu dalam
kecintaan dan loyalitas mereka adalah karena mereka takut akan
terjadinya kemenangan kaum kafir atas kaum muslimin, jika hal ini
terjadi, maka mereka mendapatkan perlindungan dari Yahudi dan Nashrani,
maka hal itu bermanfaat bagi mereka. Mengenai hal tersebut Allah
berfirman: fa ‘asallaaHu ay ya’tiya bil fat-hi (“Mudah-mudahan Allah
akan mendatangkan kemenangan [kepada Rasul-Nya].”)
As-Suddi mengatakan: “Yaitu Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah).”
Sedangkan ulama lainnya menafsirkan: “Yaitu ketetapan dan keputusan.”
Au amrim min ‘indiHii (“Atau suatu keputusan dari sisi-Nya.”)
As-Suddi berkata: “Yaitu berupa pemberlakuan jizyah terhadap orang-orang
Yahudi dan Nasrani.” Fa yushbihuu (“Maka karena itu, mereka.”) Yakni
orang-orang munafik yang mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani
sebagai pemimpin. ‘alaa maa asarruu fii anfusiHim (“Terhadap apa yang
mereka rahasiakan dalam diri mereka.”) Yaitu atas pengangkatan
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Naadimiin (“Menyesal.”)
Yaitu atas tindakan mereka, di mana mereka tidak mendapatkan sesuatu
pun dari mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani), bahkan mereka pun
tidak memperoleh perlindungan, justru mereka malah mendapatkan keburukan
dari mereka.
Maka rahasia mereka pun terungkap dan Allah pun memperlihatkan urusan
mereka di dunia kepada orang-orang mukminin setelah sebelumnya urusan
itu mereka rahasiakan, di mana tidak ada seorang pun yang mengetahui
keadaan mereka sebenarnya. Tatkala rahasia mereka terbongkar,
orang-orang mukmin pun melihat secara jelas jati diri mereka yang
sesungguhnya. Maka mereka pun merasa heran, bagaimana mereka
memperlihatkan bahwa mereka orang-orang yang beriman, bahkan bersumpah
untuk itu. Maka tampaklah dengan jelas kebohongan dan kemunafikan mereka
itu.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: wa yaquulul ladziina aamanuu a
Haa-ulaa-il ladziinaqsamuu billaaHi jaHda aimaaniHim innaHum lama’akum
habithat a’maaluHum fa ash-bahuu khaasiriin (“Dan orang-orang yang
beriman akan mengatakan: `Inikah orang-orang yang bersumpah
sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta
kamu?’ Hapuslah semua amal perbuatan mereka, lalu mereka menjadi
orang-orang yang merugi.”)
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sebab turunnya ketiga ayat
tersebut di atas. As-Suddi menyebutkan, “Bahwa ayat-ayat itu turun
berkenaan dengan dua orang yang salah satunya berkata kepada yang
lainnya, yaitu setelah terjadinya perang Uhud: `Adapun aku, sesungguhnya
aku akan pergi kepada orang Yahudi dan berlindung kepadanya, serta
memeluk agama Yahudi bersamanya, mudah-mudahan dia akan bermanfaat
bagiku jika terjadi sesuatu.’ Sedangkan yang lainnya berkata: `Adapun
aku, aku akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di Syam, lalu
aku berlindung kepadanya dan memeluk agama Nasrani bersamanya.’ Lalu
Allah Ta’ala menurunkan ayat: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa
tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa’ (“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin[mu]/sahabat karib.”)
Muhammad bin Ishaq mengatakan dari ‘Ubadah bin al-Walid bin Ubadah
bin Shamit, ia berkata: “Ketika bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw,
‘Abdullah bin Ubay berpihak pada mereka dan mendukung mereka. Kemudian
Ubadah bin Shamit pergi menuju Rasulullah, ‘Ubadah bin Shamit adalah
salah seorang dari Bani ‘Auf bin al-Khazraj yang terikat perjanjian
dengan orang-orang Yahudi, seperti misalnya Bani Qainuga’ yang menjadi
mitra ‘Abdullahbin ‘Ubay. Lalu ‘Ubadah menyuruh Bani ‘Auf supaya
menghadap Rasulullah dan melepaskan diri dari sumpah orang-orang Yahudi
dan Nasrani, untuk selanjutnya menuju kepada Allah dan Rasul-Nya.
`Ubadah berkata: “Ya Rasulullah, aku melepaskan dini dari sumpah mereka
dan bertolak menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan aku hanya menjadikan Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin sebagai penolong, dan aku melepaskan
diri dari sumpah orang-orang kafir dan perwalian kepada mereka.”
Maka berkaitan dengan’Ubadah bin Shamit dan juga Abdullah bin ‘Ubay
turunlah ayat-ayat di dalam surat al-Maa-idah: yaa ayyuHal ladziina
aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa-a ba’dluHum
auliyaa-u ba’dlin…. wa may yatawallallaaHa wa rasuulaHuu wal ladziina
aamanuu fa inna hizballaaHi Humul ghaalibuun (“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin pemimpin[mu]/sahabat karib. Sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. -sampai dengan firman-Nya- Dan barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti
menang.”)