MAKALAH BUMI DAN ANTARIKSA: BINTANG DAN DINAMIKANYA (Matahari dan Dnamikanya)
BAB I PENDAHULUAN
I.I LATAR BELAKANG
Matahari (google) |
Matahari adalah bola raksasa yang terbentuk dari gas hidrogen dan helium. Matahari termasuk bintang berwarna putih yang berperan sebagai
pusat tata surya. Seluruh komponen tata surya termasuk
8 planet dan satelit masing-masing,
planet-planet kerdil, asteroid, komet, dan debu angkasa berputar mengelilingi matahari. Di samping sebagai
pusat peredaran, matahari juga merupakan sumber energi untuk kehidupan yang berkelanjutan. Panas matahari menghangatkan bumi dan membentuk iklim, sedangkan cahayanya menerangi Bumi serta dipakai oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Tanpa matahari, tidak akan ada
kehidupan di bumi karena banyak reaksi kimia yang tidak dapat berlangsung.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa matahari disebut sebagai bintang ?
2.
Bagaimanakah jarak bintang dan gerak bintang itu ?
3. Apa yang dimaksud dengan magnitudo bintang
dan konstalasinya ?
1.3 TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui pengertian matahari sebagai
bintang
2.
Untuk mengetahui jarak & gerak bintang
3. Untuk mengetahui tentang magnitudo bintang
serta konstalasinya.
BAB II PEMBAHASAN
BAGIAN 1
MATAHARI SEBAGAI
BINTANG
1.
Matahari Sebagai Salah Satu Bintang
Benda langit di jagat raya ini jumlahnya banyak
sekali. Ada yang dapat memancarkan cahaya sendiri ada juga yang tidak dapat
memancarkan cahaya sendiri, tetapi hanya memantulkan cahaya dari benda lain.
Bintang adalah benda langit yang memancarkan cahaya sendiri (sumber cahaya).
Matahari dan bintang mempunyai persamaan, yaitu dapat memancarkan cahaya
sendiri. Matahari merupakan sebuah bintang yang tampak sangat besar karena
letaknya paling dekat dengan bumi.
Matahari memancarkan energi yang sangat besar dalam
bentuk gelombang elektromagnet. Gelombang elektromagnet tersebut adalah
gelombang cahaya tampak, sinar X, sinar gamma, sinar ultraviolet, sinar
inframerah, dan gelombang mikro.
Bintang adalah benda langit yang memancarkan cahaya
sendiri (sumber cahaya). Matahari dan bintang mempunyai persamaan, yaitu dapat
memancarkan cahaya sendiri. Matahari merupakan sebuah bintang yang tampak
sangat besar karena letaknya paling dekat dengan bumi.
Matahari memancarkan energi yang sangat besar dalam
bentuk gelombang elektromagnetSumber energi matahari berasal dari reaksi fusi
yang terjadi di dalam inti matahari. Reaksi fusi ini merupakan penggabungan
atom-atom hidrogen menjadi helium. Reaksi fusi tersebut akan menghasilkan
energi yang sangat besar. Matahari tersusun dari berbagai macam gas antara lain
hidrogen (76%), helium (22%), oksigen dan gas lain (2%).
2.
Lapisan-Lapisan Matahari
Matahari adalah bola gas pijar yang sangat panas.
Matahari terdiri atas empat lapisan, yaitu inti matahari, fotosfer, kromosfer,
dan korona.
Gambar 1. Ilustrasi bagian-bagian matahari.
(1) Inti (2) Zona radiatif (3) Zona konvektif (4)
Fotosfer (5) Kromosfer (6) Korona (7) Bintik matahari (8) Granula (9)
Prominensa.
a. Inti Matahari
Bagian dalam dari matahari, yaitu inti matahari. Pada
bagian ini terjadi reaksi fusi sebagai sumber energi matahari. Suhu pada inti
matahari dapat mencapai 15 juta derajat celcius. Berdasarkan perbandingan radius/diameter,
bagian inti berukuran seperempat jarak dari pusat ke permukaan dan 1/64 total
volume matahari. Kepadatannya adalah sekitar 150 g/cm3. Suhu dan
tekanan yang sedemikian tingginya memungkinkan adanya pemecahan atom-atom menjadi elektron, proton, dan neutron. Neutron yang tidak bermuatan akan
meninggalkan inti menuju bagian matahari yang lebih luar. Sementara itu, energi
panas di dalam inti menyebabkan pergerakan elektron dan proton sangat cepat dan
bertabrakan satu dengan yang lain menyebabkan reaksi fusi nuklir (sering juga
disebut termonuklir). Inti matahari adalah tempat berlangsungnya reaksi fusi
nuklir helium menjadi hidrogen. Energi hasil reaksi termonuklir di inti berupa sinar gamma dan neutrino memberi tenaga sangat besar sekaligus
menghasilkan seluruh energi panas dan cahaya yang diterima di bumi. Energi tersebut
dibawa keluar dari matahari melalui radiasi.
b. Zona radiatif
Zona radiatif adalah daerah yang
menyelubungi inti matahari. Energi dari inti dalam bentuk radiasi berkumpul di
daerah ini sebelum diteruskan ke bagian matahari yang lebih luar. Kepadatan
zona radiatif adalah sekitar 20 g/cm3 dengan suhu dari bagian dalam
ke luar antara 7 juta hingga 2 juta derajat Celcius. Suhu dan densitas zona
radiatif masih cukup tinggi, namun tidak memungkinkan terjadinya reaksi fusi
nuklir.
c. Zona konvektif
Zona konvektif adalah lapisan di mana
suhu mulai menurun. Suhu zona konvektif adalah sekitar 2 juta derajat Celcius
(3,5 juta
derajat Fahrenheit). Setelah keluar dari zona radiatif,
atom-atom berenergi dari inti matahari akan bergerak menuju lapisan lebih luar
yang memiliki suhu lebih rendah. Penurunan suhu tersebut menyebabkan terjadinya
perlambatan gerakan atom sehingga pergerakan secara radiasi menjadi kurang
efisien lagi. Energi dari inti matahari
membutuhkan waktu 170.000 tahun untuk mencapai zona konvektif. Saat berada di
zona konvektif, pergerakan atom akan terjadi secara konveksi di area sepanjang beberapa ratus
kilometer yang tersusun atas sel-sel gas raksasa yang terus bersirkulasi.
Atom-atom bersuhu tinggi yang baru keluar dari zona radiatif akan bergerak
dengan lambat mencapai lapisan terluar zona konvektif yang lebih dingin menyebabakan
atom-atom tersebut "jatuh" kembali ke lapisan teratas zona radiatif
yang panas yang kemudian kembali naik lagi. Peristiwa ini terus berulang
menyebabkan adanya pergerakan bolak-balik yang menyebabakan transfer energi
seperti yang terjadi saat memanaskan air dalam panci. Oleh sebab itu, zona
konvektif dikenal juga dengan nama zona pendidihan (the boiling zone).
Materi energi akan mencapai bagian atas zona konvektif dalam waktu beberapa
minggu.
d. Fotosfer
Fotosfer adalah bagian permukaan matahari. Lapisan ini
mengeluarkan cahaya sehingga mampu memberikan penerangan sehari-hari. Suhu pada
lapisan ini mampu mencapai lebih kurang 16.000 derajat celcius dan mempunyai
ketebalan sekitar 500 km.
e. Kromosfer
Kromosfer adalah lapisan di atas fotosfer dan bertindak
sebagai atmosfer matahari. Kromosfer mempunyai ketebalan 16.000 km dan suhunya
mencapai lebih kurang 9.800 derajat C. Kromosfer terlihat berbentuk gelang
merah yang mengelilingi bulan pada waktu terjadi gerhana matahari total.
f.
Korona
Korona adalah lapisan luar atmosfer matahari. Suhu
korona mampu mencapai lebih kurang 1.000.000 derajat C. Warnanya keabu-abuan
yang dihasilkan dari adanya ionisasi pada atom-atom akibat suhunya yang sangat
tinggi. Korona tampak ketika terjadi gerhana matahari total, karena pada saat
itu hampir seluruh cahaya matahari tertutup oleh bulan. Bentuk korona, seperti
mahkota dengan warna keabu-abuan.
3. Pergerakan matahari
Matahari
mempunyai dua macam pergerakan, yaitu sebagai berikut :
·
Matahari
berotasi pada sumbunya dengan selama sekitar 27 hari untuk
mencapai satu kali putaran. Gerakan rotasi ini pertama kali diketahui melalui
pengamatan terhadap perubahan posisi bintik matahari. Sumbu rotasi matahari
miring sejauh 7,25° dari sumbu orbit bumi sehingga kutub utara matahari akan
lebih terlihat di bulan September sementara kutub selatan matahari lebih terlihat di
bulan Maret. Matahari bukanlah bola padat, melainkan bola gas,
sehingga matahari tidak berotasi dengan kecepatan yang seragam. Ahli astronomi
mengemukakan bahwa rotasi bagian interior matahari tidak sama dengan bagian
permukaannya. Bagian inti dan zona radiatif berotasi bersamaan, sedangkan zona
konvektif dan fotosfer juga berotasi bersama namun dengan kecepatan yang
berbeda. Bagian ekuatorial (tengah) memakan waktu rotasi sekitar 24 hari
sedangkan bagian kutubnya berotasi selama sekitar 31 hari. Sumber perbedaan
waktu rotasi matahari tersebut masih diteliti.
·
Matahari
dan keseluruhan isi tata surya bergerak di orbitnya mengelilingi galaksi Bimasakti. Matahari terletak sejauh 28.000 tahun cahaya
dari pusat galaksi Bimasakti. Kecepatan rata-rata pergerakan ini adalah 828.000
km/jam sehingga diperkirakan akan membutuhkan waktu 230 juta tahun untuk
mencapai satu putaran sempurna mengelilingi galaksi.
4.
Gangguan-Gangguan pada Matahari
Gejala-gejala aktif pada matahari atau aktivitas
matahari sering menimbulkan gangguan-gangguan pada matahari. Gangguan-gangguan
tersebut, yaitu sebagai berikut.
a. Gumpalan-Gumpalan pada Fotosfer (Granulasi)
Gumpalan-gumpalan ini timbul karena rambatan gas panas
dari inti matahari ke permukaan. Akibatnya, permukaan matahari tidak rata
melainkan bergumpal-gumpal.
b. Bintik Matahari (Sun
Spot)
Bintik matahari merupakan daerah tempat munculnya
medan magnet yang sangat kuat. Bintik-bintik ini bentuknya lubang-lubang di
permukaan matahari di mana gas panas menyembur dari dalam inti matahari,
sehingga dapat mengganggu telekomunikasi gelombang radio di permukaan bumi.
c. Lidah Api Matahari
Lidah api matahari merupakan hamburan gas dari tepi
kromosfer matahari. Lidah api dapat mencapai ketinggian 10.000 km. Lidah api
sering disebut prominensa atau protuberan. Lidah api terdiri atas massa
proton-135 dan elektron atom hidrogen yang bergerak dengan kecepatan tinggi.
Massa partikel ini dapat mencapai permukaan bumi. Sebelum masuk ke bumi,
pancaran partikel ini tertahan oleh medan magnet bumi (sabuk Van Allen),
sehingga kecepatan partikel ini menurun dan bergerak menuju kutub, kemudian
lama-kelamaan partikel berpijar yang disebut aurora. Hamburan partikel ini mengganggu sistem komunikasi
gelombang radio. Aurora di belahan bumi selatan disebut Aurora Australis, sedangkan di belahan bumi utara disebut Aurora Borealis.
d. Letupan (Flare)
Flare adalah letupan-letupan gas di atas permukaan
matahari. Flare dapat menyebabkan gangguan sistem komunikasi radio, karena
letusan gas tersebut terdiri atas partikel-partikel gas bermuatan listrik.
BAGIAN 2
JARAK BINTANG
Sebagai perbandingan, Bintang
terdekat setelah Matahari adalah bintang Proxima Centauri, yang memiliki jarak
sekitar 40 triliun km dari Bumi.
1 Tahun Cahaya =
1 Tahun × besar kecepatan cahaya
=
(365 × 24 × 60 × 60) detik × 3 · 105 km/detik
=
9,46 · 1012 km
|
Ada 3 satuan jarak yang sering digunakan
untuk menyatakan jarak antar benda-benda langit, yaitu:
·
Satuan Astronomi (SA) à jarak rata-rata
Bumi-Matahari
1 SA = 149,6 · 106 km
·
Tahun Cahaya à jarak yang ditempuh
cahaya dalam satu tahun
1 TC = 9,46 · 1012 km
= 63.420 SA
= 0,307 parsec
·
Parsec (parallax
second) à jarak bintang jika
sudut paralaksnya 1 detik
1 parsec = 206.265 ×
1 SA
= 206265 × 149,6 · 106
km
= 3,086 · 1013 km
= 3,26 TC
Bintang adalah benda
angkasa berupa bola gas raksasa yang memancarkanenerginya sendiri dari reaksi
inti dalam bintang, baik berupa panas, cahaya maupun berbagai radiasi
lainnya. Di dalam astronomi, metode yang digunakan dalam penentuan jarak adalah
metode paralaks.
Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang
tampak ketika sebuah benda yang diam dilihat dari dua tempat yang berbeda. Kita
bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi dengan cara yang sederhana. Acungkan
jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di depan mata kita. Kemudian
amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara mata kanan
dan mata kiri. Jari kita yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah
pandang dari mata kanan berbeda dengan mata kiri sehingga terjadi perubahan
pemandangan latar belakangnya. “Perpindahan” itulah yang menunjukkan adanya
paralaks.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk
pertama kalinya pada tahun 1837 oleh Friedrich
Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang
pesat (sejak Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada
tahun 1609). Bintang yang ia amati adalah 61
Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki paralaks 0,29″.
Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat
kecil. Hanya keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel
tidak mampu mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu bukti untuk model
alam semesta heliosentris (yang dipopulerkan kembali oleh Copernicus pada tahun
1543), maka penemuan paralaks ini menjadikan model tersebut semakin kuat
kedudukannya dibandingkan dengan model geosentris Ptolemy yang banyak dipakai
masyarakat sejak tahun 100 SM.
Paralaks bintang dapat diartikan sebagai
pergeseran suatu bintang yang timbul karena gerakan bumi mengelilingi matahari.
Secara numerik paralaks bintang adalah sudut yang membentuk jarak 1 SA. Semakin jauh letak
bintang, lintasan ellipsnya makin kecil, paralaksnya juga makin kecil.
Gambar 2. Hubungan Paralaks Bintang dengan Jarak
Dengan menggunakan geometri segitiga, yaitu hubungan
antara sebuah sudut dan dua buah sisi, maka dapat dituliskan persamaan:
atau kita dapat mendefinisikan paralaks bintang melalui rumus dasar
trigonometri, yaitu:
karena nilai p sangat kecil (besar sudutnya adalah dalam satuan detik),
maka nilai tan p
p (dibulatkan menjadi p).
Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung
dalam radian. Apabila kita gunakan detik busur sebagai satuan dari sudut
paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206.265 SA atau 3,09 · 1013
km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec, parsek),
yaitu jarak bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Metode paralaks
trigonometri ini hanya bisa digunakan
untuk mendapatkan jarak bintang-bintang terdekat (untuk jarak ratusan parsec).
Pada kenyataannya, paralaks bintang yang
paling besar adalah 0,76″ yang dimiliki oleh bintang terdekat dari tata surya,
yaitu bintang Proxima Centauri di rasi Centaurus yang berjarak 1,31 pc. Sudut
sebesar ini akan sama dengan sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang diamati dari
jarak 270 kilometer. Sementara bintang 61 Cygni memiliki paralaks 0,29″ dan
jarak 1,36 TC atau sama dengan 3,45 pc.
BAGIAN 3
GERAK BINTANG
Dalam pergerakan bintang diketahui ada dua
garis besar gerak pada bintang, yaitu gerak sejati bintang (disebabkan oleh
pergerakan dari bintang itu sendiri) dan gerak semu bintang (bintang terlihat
bergerak disebabkan oleh pergerakan bumi, yaitu rotasi dan revolusi bumi).
Bila diamati, bintang selalu bergerak di
langit malam, baik itu tiap jam maupun tiap hari akibat pergerakan Bumi relatif
terhadap bintang (rotasi dan revolusi Bumi). Walaupun begitu, bintang
sebenarnya benar-benar bergerak, sebagian besar karena mengitari pusat galaksi,
namun pergerakannya itu sangat kecil sehingga hanya dapat dilihat dalam
pengamatan selama berabad-abad. Gerak semacam inilah yang disebut gerak sejati bintang. Gerak sejati bintang dibedakan menjadi dua
berdasarkan arah geraknya, yaitu:
a)
Kecepatan radial : Kecepatan bintang menjauhi atau mendekati pengamat
(sejajar garis pandang).
b)
Kecepatan tangensial : Kecepatan bintang bergerak di bola langit (pada
bidang pandang).
c)
Kecepatan total : Kecepatan gerak sejati bintang yang sebenarnya
(semua komponen).
1. Kecepatan Radial (radial velocity)
Kecepatan radial adalah kecepatan bintang
mendekati atau menjauhi Matahari. Kecepatan ini biasanya cukup besar, sehingga
terjadi peristiwa pergeseran panjang gelombang. Kecepatan radial bintang dapat
diukur dengan metode Efek Doppler.
atau dengan pendekatan untuk vr << c dapat digunakan versi
non-relativistik yaitu:
Sebagian besar gerak bintang-bintang yang dapat diamati
geraknya memiliki kelajuan yang jauh di bawah kelajuan cahaya, sehingga dapat
digunakan rumus non-relativistik.
Kecepatan radial dinyatakan dalam km/s,
bernilai positif apabila bintang menjauhi Matahari dan bernilai negatif apabila
bintang mendekati Matahari. Sebenarnya, baik gerak bintang atau gerak pengamat
maupun kedua-duanya, akan menghasilkan pergeeseran Doppler. Kecepatan radial
sendiri tidak menyimpulkan apakah bintang atau Matahari yang sedang bergerak,
melainkan yang diukur adalah kecepatan di mana jarak bintang dan Matahari
bertambah atau berkurang. Kecepatan radial juga sebenarnya tidak ditentukan
secara langsung, karena kita mengamati gerak bintang dari bumi yang berotasi
dan mengorbit, dan tentu saja hal ini akan memberikan kontribusi terhadap
pergeseran Doppler.
2. Kecepatan Tangensial (tangential velocity)
Kecepatan tangensial adalah gerak bintang
sepanjang garis penglihatan. Misalkan pada suatu tahun, bintang tersebut berada
pada koordinat
α,δ sekian, namun pada tahun berikutnya posisinya
berubah. Perubahan koordinat dalam tiap tahun ini disebut proper motion
(μ) yang merupakan kecepatan sudut bintang (perubahan sudut per
perubahan waktu). Kecepatan liniernya dinyatakan dalam satuan kilometer per
detik (km/s). Kecepatan linier
inilah yang dikatakan kecepatan tangensial, yang dapat dicari dengan
menggunakan rumus keliling lingkaran. Misal perubahan posisi bintang dari x
ke x’, yaitu sebesar μ (detik busur) setiap tahunnya. Jarak bumi-bintang adalah d (dalam parsec), dan μ (dalam detik)
Gambar 3. Ilustrasi Penentuan Kecepatan Tangensial
dan mengingat definisi kecepatan sudut, v = ω d,
maka:
3.
Kecepatan Total (total velocity)
Kecepatan total atau kecepatan ruang (space velocity) merupakan resultan dari
kecepatan radial dan kecepatan tangensial. Karena arah sumbu radial
dan tangensial tegak lurus, maka dapat diselesaikan dengan mudah menggunakan dalil Pythagoras atau
trigonometri. Sudut yang dibentuk
antara sumbu radial dan vektor kecepatan bintang disebut sudut β.
Gambar 4. Hubungan Kecepatan
Radial, Kecepatan Tangensial, dan Kecepatan Total
|
·
Bintang yang terletak pada bidang ekliptika,
apabila diamati selama satu tahun penuh, maka lintasannya akan membentuk garis
lurus
·
Bintang yang terletak pada kutub ekliptika,
apabila diamati selama satu tahun penuh, maka lintasannya akan membentuk
lingkaran
·
Bintang yang terletak antara bidang ekliptika
dan kutub ekliptika, apabila diamati selama satu tahun penuh, maka lintasannya
akan membentuk elips
4. Standar Diam Lokal (Local Standard of Rest, LSR)
Matahari merupakan anggota dari galaksi Bima
Sakti yang terdiri dari ratusan miliar bintang. Galaksi itu sendiri berbentuk
cakram dan berotasi. Matahari ikut serta dalam gerakan rotasi galaksi dengan
kecepatan 250 km/s, sekali mengorbit terhadap pusat galaksi dengan periode 200
miliar tahun. Pengamatan kita terhadap proper
motion dan kecepatan radial tidak secara langsung memberikan gambaran gerak
terhadap pusat galaksi.
Ahli astronomi telah mendefinisikan sistem
acuan di mana perbedaan gerakan bintang-bintang di mana matahari berada
rata-ratanya nol atau dengan kata lain, lingkungan tersebut relatif diam.
Kerangka ini disebut dengan Standar Diam
Lokal (Local Standard of Rest, LSR).
Menurut definisi, LSR adalah suatu titik dalam ruang dekat Matahari, di mana
bintang-bintang di sekitar titik tersebut terdistribusi secara seragam, dan
jumlah total kecepatannya terhadap titik tersebut adalah nol.
Matahari bergerak terhadap LSR dengan
kecepatan 20 km/s. Kecepatan ini diukur dengan mengamati gerakan
bintang-bintang di sekitar Matahari. Gerak bintang-bintang di sekitar Matahari
merupakan pencerminan dari gerakan Matahari dan bintang-bintang itu sendiri.
Jadi, kecepatan Matahari diukur terhadap suatu titik yang relatif diam terhadap
bintang-bintang di sekitar Matahari.
BAGIAN 4
MAGNITUDO BINTANG
Sekitar tahun 150 SM, seorang astronom Yunani
bernama Hipparchus membuat sistem
klasifikasi kecemerlangan bintang yang pertama. Saat itu, ia mengelompokkan
kecemerlangan bintang menjadi enam kategori dalam bentuk yang kurang lebih
seperti ini: paling terang, terang, tidak begitu terang, tidak begitu redup,
redup dan paling redup. Hal tersebut dilakukannya dengan membuat katalog
bintang yang pertama. Sistem tersebut kemudian berkembang dengan penambahan
angka sebagai penentu kecemerlangan. Yang paling terang memiliki nilai 1,
berikutnya 2, 3, hingga yang paling redup bernilai 6. Klasifikasi inilah yang
kemudian dikenal sebagai sistem magnitudo.
Skala dalam sistem magnitudo ini terbalik sejak pertama kali dibuat. Semakin
terang sebuah bintang, magnitudonya semakin kecil. Dan sebaliknya semakin redup
bintang, magnitudonya semakin besar.
Sistem tersebut kemudian semakin berkembang
setelah Galileo dengan teleskopnya menemukan bahwa ternyata terdapat lebih
banyak bintang lagi yang lebih redup daripada yang bermagnitudo 6. Skalanya pun
berubah hingga muncul magnitudo 7,8, dan seterusnya. Namun penilaian
kecemerlangan bintang ini belumlah dilakukan secara kuantitatif. Semuanya hanya
berdasarkan penilaian visual dengan mata telanjang saja.
Pada tahun 1856 berkembanglah perhitungan
matematis untuk sistem magnitudo. Norman
Robert Pogson, seorang astronom Inggris, memberikan rumusan berbentuk
logaritmis yang masih digunakan hingga sekarang dengan aturan seperti berikut.
Secara umum, perbedaan sebesar 5 magnitudo menunjukkan perbandingan
kecemerlangan sebesar 100 kali. Jadi, bintang dengan magnitudo 1 lebih terang
100 kali daripada bintang dengan magnitudo 6, dan lebih terang 10.000 kali
daripada bintang bermagnitudo 11, dan seterusnya. Dengan rumusan Pogson ini,
perhitungan magnitudo bintang pun menjadi lebih teliti dan lebih dapat
dipercaya.
Seiring dengan semakin majunya teknologi
teleskop, magnitudo untuk bintang paling redup yang dapat kita amati semakin
besar. Contohnya, Hubble Space Telescope
memiliki kemampuan untuk mengamati objek dengan magnitudo 31. Tetapi walaupun
bukan lagi nilai terbesar, magnitudo 6 tetap menjadi nilai penting hingga kini
karena inilah batas magnitudo bintang yang paling redup yang dapat diamati
dengan mata telanjang. Tentunya dengan syarat langit, lingkungan, dan kondisi
mata yang masih bagus.
Sama seperti perkembangan yang terjadi pada
magnitudo besar, magnitudo kecil juga mengalami ekspansi seiring dengan semakin
majunya teknologi detektor. Dalam kelompok magnitudo 1 kemudian diketahui
terdapat beberapa bintang tampak lebih terang dari yang lainnya sehingga
muncullah magnitudo 0. Bahkan magnitudo negatif juga diperlukan untuk objek
langit yang lebih terang lagi. Kini diketahui bahwa bintang paling terang di
langit malam adalah Sirius, dengan magnitudo -1,47. Magnitudo Venus dapat
mencapai -4,89, Bulan purnama -12,92, dan magnitudo Matahari mencapai -26,74.
Magnitudo yang kita bicarakan di atas disebut
juga dengan magnitudo semu, karena
menunjukkan kecemerlangan bintang yang dilihat dari Bumi, tidak peduli seberapa
jauh jaraknya. Jadi, sebuah bintang bisa terlihat terang karena jaraknya dekat
atau jaraknya jauh tapi berukuran besar. Sebaliknya, sebuah bintang bisa
terlihat redup karena jaraknya jauh atau jaraknya dekat tapi berukuran kecil.
Sistem ini membuat kecemerlangan bintang yang kita lihat bukan kecemerlangan
bintang yang sesungguhnya. Untuk mengoreksinya, faktor jarak itu harus
dihilangkan. Maka muncullah sistem
magnitudo mutlak.
Magnitudo mutlak adalah magnitudo bintang
jika bintang tersebut berada pada jarak 10 parsec. Nilainya dapat ditentukan
apabila magnitudo semu dan jarak bintang diketahui. Dengan “menempatkan”
bintang-bintang pada jarak yang sama, kita bisa tahu bintang mana yang
benar-benar terang. Sebagai perbandingan, Matahari, yang memiliki magnitudo
semu -26,74, hanya memiliki magnitudo mutlak 4,75. Jauh lebih redup daripada
Betelgeuse yang memiliki magnitudo semu 0,58 tetapi memiliki magnitudo mutlak
-6,05 (135.000 kali lebih terang dari Matahari).
Magnitudo adalah tingkat
kecemerlangan suatu bintang. Skala magnitudo berbanding terbalik dengan
kecemerlangan bintang, artinya makin terang suatu bintang makin kecil skala
magnitudonya. Pada
zaman dulu, bintang yang paling terang diberikan magnitudo 1 dan yang cahayanya
paling lemah yang masih dapat dilihat oleh mata diberi magnitudo 6. Sekarang
diberikan ketentuan bintang dengan beda magnitudo satu memiliki beda kecemerlangan
2,512 kali (selisih lima magnitudo berarti perbedaan kecemerlangan seratus
kali), jadi jika bintang A memiliki magnitudo 1 dan bintang B memiliki
magnitudo 3 berarti bintang A 6,25 kali tampak lebih terang dari bintang B. Perbandingan magnitudo
semu bintang dapat menggunakan rumus Pogson berikut:
Pengukuran magnitudo berdasarkan keadaan yang
tampak dari Bumi seperti di atas adalah magnitudo semu (m). Magnitudo mutlak (M)
adalah perbandingan nilai terang bintang yang sesungguhnya. Seperti yang Anda
ketahui, jarak antara bintang yang satu dan bintang yang lain dengan Bumi
tidaklah sama. Akibatnya, bintang terang sekalipun akan nampak redup bila
jaraknya sangat jauh. Oleh karena itu, dibuatlah perhitungan magnitudo mutlak,
yaitu tingkat kecemerlangan bintang apabila bintang itu diletakkan hingga
berjarak 10 parsec dari Bumi. Dengan mengingat persamaan radiasi E = L / 4πr2
, dengan E adalah energi radiasi, L adalah
luminositas (daya) dan r jarak, maka perhitungan jarak
bintang, magnitudo semu dan magnitudo mutlak (absolut) adalah:
Perlu diingat jarak dalam persamaan modulus
di atas (d) harus dinyatakan dalam satuan parsec. Satu parsec ialah
jarak suatu bintang yang mempunyai sudut paralaks satu detik busur, yang
sebanding dengan 3,26 tahun cahaya (TC) atau 206.265 satuan astronomi (SA).
Jika yang ditanyakan ialah jarak, maka rumus diatas dapat dibalik menjadi:
Jika magnitudo absolut
dan magnitudo semunya diketahui, jaraknya dapat dihitung. Kuantitas m – M
dikenal sebagai modulus jarak. Adapun
hubungan antara magnitudo mutlak dan luminositas (daya) bintang, L dapat diterapkan berdasarkan rumus Pogson.
Misalkan magnitudo semu matahari tampak dari
Bumi, m = -26,83, maka magnitudo mutlak matahari, M ialah:
mengingat jarak Bumi-Matahari = 1 SA = 1 / 206265 parsec, maka:
Berikut ini adalah tabel skala magnitudo tampak beberapa benda langit:
BENDA LANGIT
|
SKALA
|
Matahari
|
-26,8
|
Bulan purnama
|
-12,6
|
Venus (kecerahan
maksimum)
|
-4,4
|
Mars dan Jupiter
(kecerahan maksimum)
|
-2,8
|
Sirius (bintang
tercerah)
|
-1,5
|
Canopus
|
-0,7
|
Arcturus,
Capella, Vega (titik nol berdasarkan definisi)
|
0,0
|
Saturnus
(kecerahan maksimum)
|
+0,2
|
Aldebaran,
Antares, Betelgeuse
|
+1,0
|
Polaris
|
+2,0
|
Uranus
|
+5,6
|
Bintang teredup
yang terlihat dengan mata telanjang (limit)
|
+6,0
|
Neptunus
|
+8,2
|
Kuasar tercerah
|
+12,6
|
Pluto
|
+13,7
|
Objek teredup
yang dapat diamati oleh teleskop Hubble
|
+30,0
|
BAGIAN 5
KONSTELASI BINTANG
Rasi
bintang atau Konstelasi adalah sekelompok bintang yang tampak
berhubungan membentuk suatu konfigurasi khusus.
Dalam ruang tiga dimensi,
kebanyakan bintang yang kita amati tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya,
tetapi dapat terlihat seperti berkelompok pada bola langit malam. Manusia
memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam mengenali pola dan sepanjang
sejarah telah mengelompokkan bintang-bintang yang tampak berdekatan menjadi
rasi-rasi bintang.
Pengelompokan bintang-bintang
menjadi rasi bintang sebenarnya cukup acak, dan kebudayaan yang berbeda akan
memiliki rasi bintang yang berbeda pula, sekalipun beberapa yang sangat mudah
dikenali biasanya seringkali ditemukan, misalnya Orion atau Scorpius.
Himpunan
Astronomi Internasional
telah membagi langit menjadi 88 rasi bintang resmi dengan batas-batas yang jelas, sehingga setiap
arah hanya dimiliki oleh satu rasi bintang saja. Pada belahan bumi (hemisfer)
utara, kebanyakan rasi bintangnya didasarkan pada tradisi Yunani, yang
diwariskan melalui Abad Pertengahan, dan mengandung simbol-simbol Zodiak.
Fungsi
Rasi Bintang Sebagai Penunjuk Arah Mata Angin
Alam telah menyediakan seluruh
sumber dayanya yang tak terhingga bagi hajat hidup manusia sekalian. Hanya
saja, terkadang manusia belum terlampau jeli untuk mampu menyingkap berbagai
tabir rahasia yang telah disediakan alam baginya.
Arah mata angin, menjadi kebutuhan
mendasar bagi setiap manusia yang sedang melakukan perjalanan. Saat ini, telah
tersedia berbagai macam alat navigasi yang canggih dan modern guna memudahkan
kita dalam membaca arah mata angin. Namun, perlu kita ingat bahwa manusia-manusia
kuno perintis peradaban terdahulu telah mampu memanfaatkan alam sebagai
pembimbing navigasi mereka dalam wujud rasi bintang.
Rasi
bintang diidentifikasikan untuk menandai acuan arah mata angin (tentunya yang
akan berfungsi terutama saat malam hari) dengan berbagai bentuknya. Metode kuno
yang terbukti akurat hingga sekarang.
Berikut
ini beberapa rasi bintang yang dapat dijadikan acuan sebagai penunjuk
arah mata angin :
1. Rasi Bintang Ursa Major, sebagai
penunjuk arah Utara.
Rasi Bintang Ursa Major
atau disebut juga dengan rasi bintang Great Bear (Beruang Besar)/Biduk yang
menunjukkan arah utara berbentuk seperti gayung, dan terdiri dari 7 buah
bintang, karena itu juga terkadang rasi bintang ini disebut sebagai konstelasi
bintang tujuh.Rasi bintang ini terlihat sepanjang tahun di langit utara. Pada
rasi bintang ini, ada satu bintang yang paling terang, dan biasanya dalam peta
rasi bintang diberi simbol α (perhatikan gambar peta rasi bintang dibawah
ini).
Peta Rasi Bintang Ursa
Major (simbol α)
|
Gambar Seni Rasi
Bintang
Great Bear/Beruang Besar/Biduk/Ursa Major |
2. Rasi bintang Crux, sebagai
penunjuk arah Selatan
Rasi bintang ini
berbentuk seperti ikan pari, layang-layang, atau salib dan bisa kita lihat pada
langit malam dengan arah agak ke selatan. Sehingga Rasi bintang yang satu ini
desbut juga sebagai Rasi bintang Salib Selatan. Pada rasi bintang ini, ada satu
bintang yang paling terang, dan biasanya dalam peta rasi bintang diberi simbol
α (lihat gambar dibawah).
Peta Rasi Bintang Crux
|
Gambar Seni Rasi
Bintang Crux/Pari/Layang-layang/Salib Selatan
|
3. Rasi bintang Orion, sebagai
penunjuk arah Barat.
Rasi bintang ini dapat
dilihat di langit sebelah barat. Disebut juga dengan nama Rasi bintang Pemburu
atau Rasi bintang Waluku. Dinamai Orion, yang artinya adalah pemburu dalam
bahasa yunani, rasi bintang ini didedikasikan bagi Orion, putera Neptune,
seorang pemburu terbaik di dunia.
Gambar Seni Rasi
Bintang Orion
|
Orion ini mudah dikenali dengan
adanya 3 bintang kembar yang berjajar membentuk sabuk Orion (Orion Belt). Satu
lagi yang menarik di rasi orion ini adalah adanya bintang Bellatrix dan
Betelgeuse pada konstelasinya. Bellatrix identik dengan tokoh dalam Harry
Potter, sedangkan Betelgeuse adalah salah satu judul film anak-anak waktu dulu.
Selain sebagai petunjuk
arah barat, rasi bintang orion ini atau waluku dalam bahasa Indonesia sering
dijadikan sebagai tanda bagi para petani jaman dulu untuk mulai menggarap sawah
dan ladangnya.
4. Rasi bintang Scorpius/Scorpion, sebagai penunjuk arah Tenggara.
4. Rasi bintang Scorpius/Scorpion, sebagai penunjuk arah Tenggara.
Rasi bintang keempat
yang bisa dikenali dan menjadi petunjuk arah adalah rasi bintang kalajengking
atau Scorpio. Rasi bintang satu ini agak susah dicari, karena jumlah bintang
yang membentuk konstelasinya cukup banyak.
Gambar Seni Rasi
Bintang Scorpius
|
Rasi Scorpio ini menjadi petunjuk
arah tenggara. Dalam mitologi yunani kuno, Scorpio ini adalah utusan Apollo
untuk membunuh sang Pemburu, Orion. Pada konstelasi ini juga terdapat bintang
Antares, salah satu bintang paling terang yang pernah ditemukan.
Hal ini juga sesuai dengan ayat di dalam Al-Qur'an, yaitu
Surat An-Nahl ayat ke-16, bahwa Allah SWT menjadikan bagi
para musafir tanda-tanda yang mereka dapat gunakan sebagai petunjuk di bumi dan
sebagai tanda-tanda di langit :
dan (Dia ciptakan) tanda-tanda
(penunjuk jalan).
Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. Q.S. An-Nahl (16) |
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Matahari dan bintang mempunyai persamaan, yaitu dapat
memancarkan cahaya sendiri. Matahari merupakan sebuah bintang yang tampak
sangat besar karena letaknya paling dekat dengan bumi.
1 Tahun Cahaya = 1 Tahun × besar kecepatan cahaya
= (365 × 24
× 60 × 60) detik × 3 · 105 km/detik
= 9,46 · 1012
km
pergerakan bintang diketahui ada dua garis
besar gerak pada bintang, yaitu gerak sejati bintang (disebabkan oleh
pergerakan dari bintang itu sendiri) dan gerak semu bintang (bintang terlihat
bergerak disebabkan oleh pergerakan bumi, yaitu rotasi dan revolusi bumi).
Semakin
terang sebuah bintang, magnitudonya semakin kecil. Dan sebaliknya semakin redup
bintang, magnitudonya semakin besar.
Rasi bintang
atau Konstelasi adalah
sekelompok bintang yang tampak berhubungan membentuk suatu konfigurasi
khusus.
DAFTAR PUSTAKA
A.Hasyimy, Sejarah
Kebudayaan Islam, cet V, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
Esposito, John L.
(Ed), Sains Sains Islam, Depok : Inisiasi Press, cet. I. 2004.
HK Tjasyono Bayong. 2009. Ilmu kebumian dan Antariksa.
Bandung : UPI & PT Remaja Rodaskarya
Hafez, Kumpulan
Ilmu Islam, Era Muslim, 14 Maret 2005.
Kerrod, Robbin,
Astronomi. Jakarta : Erlangga. 2005. Cek Juga Makalah Astronomi atau Bumi dan Antariksanya di sini
Tidak ada komentar:
Write komentar